Perdagangan senjata sangat menguntungkan, khususnya jika sebuah negara menjadi mangsa instabilitas dan protes. Untuk menumpas rakyatnya sendiri, negara tersebut membutuhkan senjata. Sangat disayangkan keuntungan besar ini membuat negara-negara Barat cenderung melupakan isu-isu perdamaian dan hak asasi manusia (HAM).
Serangan sadis koalisi Arab Saudi terhadap rakyat Yaman hanya menghasilkan pembantaian warga tak berdosa, perempuan dan anak-anak serta mengakibatkan pengungsian, kelaparan dan merebaknya wabah. Namun yang lebih menonjol dari penderitaan rakyat Yaman adalah wajah munafik pemerintah yang mengklaim sebagai pembela HAM. Demi meraup keuntungan lebih besar dan kepentingan ekonomi, negara-negara tersebut rela menambahkan kayu bakar di api kejahatan Arab Saudi, sehingga mereka mampu mempertahankan api peperangan tetap menyala.
Penggerak perang di Timur Tengah yang tak kenal lelah membutuhkan bahan bakar dan bahan bakarnya adalah senjata. Tak diragukan lagi, Timur Tengah yang tenggelam di peperangan berubah menjadi pasar senjata asing. Kekuatan besar dunia memasuki persaingan di pasar ini demi meraup keuntungan lebih besar. Dengan demikian mereka pun mulai merancang pemecahbelahan negara-negara seperti Irak, Suriah dan Yaman. Upaya menjual senjata selama beberapa tahun yang penuh gejolak di Timur Tengah membuat pasar senjata dan api peperangan di kawasan semakin panas.
Dalam hal ini dimulainya perang di Yaman telah membuka pertengkaran baru di mana setiap negara Arab kawasan mulai berlomba memamerkan senjata yang mereka beli. Menurut laporan Koran New York Times, Arab Saudi memanfaatkan jet tempur F-15 yang dibeli dari Amerika, Uni Emirat Arab (UEA) menggunakan F-16 buatan AS untuk membombardir Yaman.
Ketika kawasan tenggelam di perang proksi, etnis dan pemberantasan terorisme, negara-negara yang menimbun senjata Amerika dan negara Barat mulai menggunakannya dan meminta pembelian senjata lebih banyak. Dengan demikian muncul rotasi bagi kontraktor industri militer Amerika di era defisit anggaran Pentagon dan prospek persaingan baru senjata di kawasan.
Di bulan-bulan pertama agresi Arab Saudi ke Yaman, Lembaga Kontrol Senjata meminta Perancis, Inggris dan Amerika Serikat mencegah penjualan senjata kepada Arab Saudi mengingat aksi Riyadh membantai warga sipil Yaman. Berdasarkan Perjanian Perdagangan Senjata (ATT), negara anggota harus membatalkan setiap kontrak senjata di mana senjata yang dijual digunakan untuk membunuh warga sipil.
Lembaga Kontrol Senjata juga menyatakan, tiga negara tersebut didakwa sebagai negara paling munafik karena ketiganya menandatangani Perjanjian Perdagangan Senjata. Anna Macdonald, direktur Lembaga Kontrol Senjata tahun lalu mengatakan, “Ketiga negara Barat ini, dengan kebijakannya melanjutkan penjualan senjata ke Arab Saudi telah melanggar perjanjian perdagangan senjata. Setiap hari kita menyaksikan korban akibat penggunaan senjata dan amunisi terhadap warga sipil Yaman.”
Pemerintah Inggris sejak Maret 2015 hingga kini menjual berbagai peralatan perang senilai lebih dari 3,3 miliar dolar termasuk jet tempur, bom dan roket. Perdana Menteri Inggris, Theresa May, menyusul keluarnya London dari Uni Eropa, menitikberatkan sektor finansialnya ke arah ekspor senjata. London dilaporkan sepakat menjual jet tempur kepada Turki senilai 100 juta dolar.
Sebuah jajak pendapat oleh kubu anti penjualan senjata menunjukkan bahwa mayoritas warga Inggris menolak penjualan senjata kepada negara lain. Berdasarkan polling ini, 62 persen rakyat menilai penjualan senjata kepada Arab Saudi tidak dapat diterima. Lebih luas lagi, sekitar 71 persen rakyat Inggris menilai pemerintah London tidak seharusnya menjual senjata kepada negara asing yang didakwa melakukan pelanggaran HAM.
Sementara 60 persen warga Inggris meyakini bahwa pemerintah tidak harus menjual senjata kepada negara-negara non demokrasi. Hanya 26 persen warga Inggris yang meyakini bahwa pemerintah harus menjual senjata kepada negara asing. Kelompok anti penjualan senjata meminta Departemen Luar Negeri Inggris menangguhkan seluruh ijin ekspor senjata dan tidak lagi menjual senjata kepada Arab Saudi yang menggunakan persenjataannya untuk membombardir rakyat tak berdosa Yaman.
Andrew Smith, salah satu anggota kelompok anti ekspor senjata mengatakan, jet tempur Inggris dan bom-bomnya pemyebab utama kerusakan di Yaman. Perdana menteri Inggris harus mendengarkan suara rakyat dan menghentikan hubungan militer dengan Arab Saudi.
Amnesty Internasional juga merilis laporan mengkritik pemerintah Inggris karena menjual senjata kepada Arab Saudi dan penggunaan senjata tersebut untuk membantai warga Yaman serta menuntut dihentikannya penjualan senjata oleh London kepada Riyadh. Amnesty Internasional juga memperingatkan London untuk tidak terlibat dengan Riyadh di aksi-aksi yang terbukti sebagai kejahatan perang.
Perancis juga berusaha untuk tidak tertinggal di pasar senjata yang menggiurkan tersebut. Presiden Perancis, Francois Hollande berkunjung ke Timur Tengah dan tiba di Qatar untuk menghadiri penandatanganan kontrak penjualan 24 jet tempur Rafale. Kontrak senjata ini senilai tujuh miliar dolar dan mencakup penyerahan 24 jet tempur Rafale kepada Qatar.
Sementara itu, Jerman meski ada penentangan penjualan senjata kepada Arab Saudi, juga tidak mampu mengabaikan keuntungan besar kontrak senjata. Ekspor senjata Jerman ke negara-negara Timur Tengah di tahun 2015 mencapai 8,9 miliar dolar. Angka ini dua kali lipat di banding dengan tahun 2014. Meski pemerintah Jerman pada Januari 2016 menangguhkan penjualan senjata kepada Arab Saudi karena pelanggaran HAM, namun mengijinkan perusahaan senjata Jerman memulai penjualan senjata kepada Riyadh.
Menurut keterangan Amnesty Internasional, sebagian senjata di tangan anasir Daesh adalah produksi Jerman. Koran Frankfurter Allgemeine Zeitung yang merilis laporan Amensty Internasional menekankan, senjata buatan perusahaan Heckler & Koch secara khusus diserahkan kepada kelompok teroris Daesh.
Namun begitu, negara sponsor dan mitra Arab Saudi di pembantaian warga Yaman adalah Amerika Serikat. Di tahun 2015 Washington menyetujui penjualan senjata senilai lebih dari 20 miliar kepada Arab Saudi dan Inggris di tahun tersebut juga meratifikasi penjualan senjata kepada Riyadh senilai empar miliar dolar.
Di sisi lain, penjualan senjata semakin intens dengan berkuasanya presiden haus perang di Amerika. Donald Trump yang mengawali lawatan luar negerinya ke Arab Saudi menandatangani kesepakatan penjualan senjata senilai 110 miliar dolar dan penambahan kontrak hingga 350 miliar dolar selama sepuluh tahun sejatinya secara praktis menandatangani kejahatan perang, kejahatan anti kemanusiaan, genosida rakyat Yaman dan mempersenjatai kelompok teroris termasuk Daesh di Timur Tengah.
Berdasarkan laporan Amensty Internasional, sejata di kontrak ini adalah senjata yang digunakan oleh Arab Saudi dan sekutunya saat ini menyerang Yaman dari udara dan darat. Nawal al-Maghafi, pengamat Yaman mengatakan, “Negara-negara ini tengah mempersenjatai dan membantu koalisi yang aktif membombardir, membantai dan membuat warga sipil kelaparan. Saya menyaksikan realita yang harus ditanggung rakyat Yaman. Saya menyaksikan sebuah jenazah di Sanaa yang tengah dikeluarkan dari reruntuhan, potongan badan di sekitar penyulingan air bersih akibat serangan jet tempur Arab Saudi di Hajjah dan sebuah acara pernikahan yang berubah menjadi acara duka.”
Al-Maghafi juga mengatakan, “Warga Yaman membutuhkan bantuan kemanusiaan, bukan bom. Namun ternyata sebaliknya, berbagai negara malah membantu eskalasi perang ini. Mereka tengah membantu sebuah rezim sadis yang mereka ketahui sedang membombardir warga sipil. Ini benar-benar sebuah kejahatan. Negara-negara ini harus bersedia menerima tangugng jawabnya.”
Anna McDonald, ketua Lembaga Kontrol Senjata Oxfam terkait hal ini mengatakan, “Pemerintah seperti Inggris dan Perancis sebelumnya terdepan dalam menjaga ATT dan kini dengan mempersenjatai Arab Saudi dengan sejumlah senjata mematikan di dunia, tengah melemahkan sebuah perjanjian yang disusun untuk mengurangi penderitaan manusia. Ini sangat menjijikkan. Bukti kuat menunjukkan bahwa senjata tersebut digunakan untuk menarget wilayah pemukiman dan target-target sipil lainnya.”
Perdagangan senjata sangat menggiurkan. Menyimak list negara-negara eksportir senjata dunia, dapat dipahami bahwa pemerintah tersebut justru pihak yang mengklaim sebagai pembela HAM di dunia. Di antara negara tersebut adalah Inggris, Jerman, Amerika Serikat dan Perancis. Pemerintah ini senantiasa terdepan untuk meraup keuntungan lebih besar di perlombaan senjata di seluruh dunia.
Arab Saudi selama dua tahun terakhir membeli senjata senilai lebih dari 700 milyar dari Perancis, Inggris, Jerman, Kanada dan Amerika Serikat. Senjata tersebut digunakan untuk membombardir perempuan, anak-anak, sekolah dan rumah sakit serta menimbulkan banyak kerusakan di Yaman.
Comments
Post a Comment