MI/Ramdani
KONTRAKAN berukuran 4x4 meter persegi yang minim cahaya di Kawasan Prumpung Tengah, Cipinang Besar Utara, Jakarta Timur, menjadi tempat persinggahan Yudi, 30, pria asal Kecamatan Indihiang, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Pemuda bertubuh kerempeng ini baru saja tiba di ibu kota Jakarta. Barang bawaan Yudi dari kampung halaman ia simpan seadanya di dalam kontrakan tersebut.
Yudi tampak lelah. Maklum, perjalanan 252 kilometer dari Tasikmalaya selama kurang lebih tujuh jam menggunakan bus membuatnya kecapekan.
Dia merupakan salah satu pendatang baru di Jakarta. Ia mengaku diajak oleh keluarganya yang sudah lebih dulu tinggal di Jakarta untuk mengadu nasib.
Yudi sendiri tidak memiliki keterampilan khusus untuk menopang hidup. Selama di Tasikmalaya pun ia berdagang makanan keliling. Meski di kampung ada pembeli, ia menginginkan pembeli yang lebih banyak. Menurutnya, Jakartalah tempatnya.
"Rencananya saya mau berdagang makanan batagor seperti waktu di Tasik. Kakak ipar saya yang sudah lebih dulu datang juga jadi tukang kredit," katanya.
Menjadi tidak sulit bagi Yudi untuk mencari hunian di Jakarta karena rekomendasi saudaranya masih ada kontrakan seharga Rp800 ribu yang hanya perlu dibayar per tahun. "Tahu begitu saya langsung mengiyakan karena di mana lagi di Jakarta dapat kontrakan segitu," lanjut Yudi.
Yudi datang bukan tanpa kekhawatiran. Ia khawatir ekspektasi mengumpulkan pundi-pundi uang lebih banyak di Jakarta cuma angan-angan. Namun, kisah sukses kakak iparnya menjadi bara bagi semangatnya. "Kakak ipar saya, saya lihat sering bawa uang ke kampung. Karena itu, saya datang. Masih ada harapan di Jakarta," jelasnya.
Di kawasan Prumpung Tengah memang terdapat kontrakan sangat sederhana yang berisi sekumpulan pendatang asal Tasikmalaya. Kontrakan yang terdiri atas puluhan pintu di gang sempit nan gelap itu berjejer gerobak milik penghuni yang sebagian besar pedagang es doger dan pedagang minyak.
Terpisah, Munandar, 19, asal Pekalongan, juga menanam asa yang sama. Ia diajak bibinya untuk membantu di rumah makan di area Pasar Senen, Jakarta Pusat, milik bibinya. Sama seperti Yudi, Munandar juga tidak memiliki keterampilan khusus. Ia hanya mengandalkan kemauannya.
"Datang ya karena diajak keluarga saja bantu-bantu bibi punya rumah makan di Pasar Senen," katanya singkat saat ditemui di Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur.
Dengan modal kemampuan berjualan batagor dan ikut membantu di rumah makan, mampukah mereka menaklukkan kejamnya Ibu Kota? (X-4)
Comments
Post a Comment