Ilustrasi. (Foto: Antara/Yudhi Mahatma).
SEJAK lama PT Garuda Indonesia Tbk sudah didera persoalan internal dengan awak kabin maupun serikat pekerjanya. Polemik tersebut seolah awet karena terjadi bukan kali pertama, melainkan dalam beberapa waktu belakangan.
Berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, ancaman mogok kerja pertama pilot Garuda terjadi pada 1980. Saat itu pemerintah terpaksa menurunkan pesawat Fokker 27 demi membantu kelancaran penerbangan.
Berikutnya pada 2003, kejadian serupa dilatarbelakangi oleh tuntutan perbaikan besaran dan struktur gaji. Manajemen Garuda Indonesia dianggap tidak memenuhi hak-hak awak kabinnya. Aksi mogok dilakukan dengan menunda jadwal keberangkatan pesawat selama satu jam pada 26 Januari sampai 1 Februari 2003.
Perkara gaji juga kembali membuat para pilot Garuda melakukan mogok terbang pada 2011. Mereka menuntut kesetaraan gaji antara pilot asing dan pilot lokal. Pasalnya, pilot asing dengan status kontrak bisa mendapatkan gaji sekitar Rp77 juta per bulan. Sementara gaji kapten pilot lokal hanya sebesar Rp43 juta per bulan meski berstatus karyawan tetap.
Namun, tahun ini gejolak internal di tubuh Garuda tak lagi dibayangi masalah gaji melainkan pada buruknya manajemen dan kinerja perusahaan. Menurut Presiden Asosiasi Pilot Garuda Kapten Bintang Hardiono, konflik tersebut bermula dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) di mana efisiensi yang dilakukan perusahaan dengan memangkas hak-hak karyawannya tak jua membawa kinerja Garuda ke tahap perbaikan.
Tanpa pikir panjang, para pekerja dan awak kabin kemudian menggelar keterangan pers terkait perseteruan mereka dengan manajemen Garuda Indonesia pada 2 Mei 2018. Dalam konferensi pers tersebut, mereka membeberkan sejumlah kegagalan Garuda Indonesia.
Beberapa poin kegagalan maskapai pelat merah itu antara lain perubahan sistem penjadwalan kru yang diimplementasikan pada November 2017 lalu justru menyebabkan sejumlah pembatalan dan penundaan penerbangan.
Selanjutnya, pendapatan usaha penjualan tiket penumpang tidak mampu mengimbangi beban usaha. Tercatat penurunan rata-rata harga jual tiket penumpang dari 6,93 sen dolar AS pada 2016 menjadi sebesar 6,71 sen dolar AS di 2017. Lalu saham Garuda Indonesia dengan kode GIAA terus merosot dari harga IPO sebesar Rp750 per lembar saham pada 2011 lalu menjadi Rp292 per lembar saham pada April 2018.
Ketua Harian Serikat Karyawan Garuda (Sekarga) Tomy Tampati menuding akar permasalahan mesorotnya kinerja Garuda Indonesia lantaran jajaran direksi mengalami pembengkakan. Idealnya, direksi Garuda berjumlah enam orang dengan posisi Direktur Utama, Direktur Operasi, Direktur Teknik, Direktur Keuangan, Direktur Personalia, dan Direktur Niaga. Namun, jumlah direksi membengkak dengan adanya penambahan jabatan Direktur Kargo serta Direktur Marketing dan IT.
Sebab itu, pihaknya mendesak perombakan jajaran direksi termasuk penghapusan Direktur Kargo dan Direktur Marketing dan IT demi kelangsungan Garuda Indonesia. Surat permohonan, kata Tomy, telah dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri BUMN Rini Soemarno.
Jika permintaan tersebut diabaikan, pilot dan karyawan pun mengancam akan melakukan mogok massal dengan tenggat waktu satu bulan setelah surat tersebut dikirimkan ke pemerintah.
"Kami akan pakai senjata mogok ini jika pemerintah sudah tidak mau mendengar masukan dari kami. Kami siap kok berdialog dengan Pak Jokowi. Kenapa petani bisa berdialog dengan Presiden kami enggak," tegasnya.
Menanggapi rencana mogok ini, Direktur Utama Garuda Indonesia Pahala Nugraha Mansury tancap gas menyiapkan langkah antisipasi. Ia mengklaim telah merangkul para pilot dan kru yang masih loyal agar kegiatan operasional penerbangan khususnya selama Lebaran tetap berjalan.
Tapi Pahala mengaku tak bisa menentukan perombakan direksi maskapai pelat merah lantaran penunjukan direksi murni kewenangan pemegang saham dan Kementerian BUMN.
"Banyak yang kita lakukan untuk itu menyiapkan kesetiaan kru yang cukup sambil memastikan semua pihak terlibat dalam menjalankan tugasnya," katanya pada 3 Mei 2018.
Akibat gagalnya mediasi langsung dari perusahaan, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan pun turun tangan. Ia memanggil manajemen Garuda maupun perwakilan pilot ke kantornya guna mendengarkan keluhan mereka.
Hasilnya, Luhut berjanji bakal menyelesaikan persoalan tersebut dengan membentuk satuan tugas tanpa melibatkan manajemen maupun asosiasi pekerja. Satuan ini terdiri dari Kementerian Perhubungan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Kantor Staf Presiden (KSP) dengan diketuai Deputi Bidang Kedaulatan Maritim Kemenko Kemaritiman Purbaya Yudhi.
"Jadi dalam pertemuan itu nantinya mereka akan bicara, saya hanya memediasi,” ujar Luhut pada 6 Juni 2018.
Sayangnya, sejak dibentuk pada Juni lalu kerja satgas belum juga membuahkan hasil. Mereka masih melakukan mediasi dengan memanggil manajemen Garuda dan perwakilan Sekarga-APG secara bergantian.
Saat ditemui di kantor Luhut, Pahala enggan membocorkan hasil mediasi. Ia pun tutup mulut terkait tuntutan pekerja dan awak kabin yang mungkin dipenuhi Garuda.
"Saya enggak bisa menjawab. Arahannya dari pak Menko kita mencari solusi bersama yang bisa disepakati bersama," ungkap Pahala pada 25 Juni 2018.
Setali tiga uang, Kapten Bintang pun irit bicara. Dia enggan menjabarkan hasil mediasi yang rencananya bakal disampaikan pada Senin besok, 2 Juli 2018. Bahkan dia mengaku tak tahu mengenai poin kesepakatan maupun tuntutan yang mungkin diakomodasi.
"Kalau itu saya belum tahu, sementara masih dalam mediasi. Mungkin nanti hasilnya sekitar Senin/Selasa besok," katanya saat dihubungi Medcom.id pada Sabtu, 30 Juni 2018.
Laporan Keuangan Garuda Indonesia Disorot
Belakangan rapor merah kinerja keuangan Garuda Indonesia kembali disorot berbagai pihak. Merosotnya laporan keuangan maskapai pelat merah itu tak hanya terjadi tahun lalu tapi dalam lima tahun terakhir.
Tercatat Garuda Indonesia mengalami dua kali rugi yang hampir mencapai Rp5 triliun. Perseroan pernah mengalami kerugian yang dalam sebanyak dua kali. Kerugian terbesar tercatat pada 2014 yang mencapai USD371 juta atau Rp4,93 triliun.
Meski merugi, Garuda Indonesia pernah mencetak laba pada 2012, 2013, 2015, dan 2016 dengan perolehan masing-masing Rp1,46 triliun, Rp150 miliar, Rp1,04 triliun, dan Rp124,5 miliar.
Adapun laba tertinggi pada 2012 mencapai USD110 juta atau Rp1,46 triliun. Pada periode ini Garuda gencar melakukan eskpansi dan inovasi dengan melakukan penambahan rute penerbangan domestik dan internasional hingga menambah jumlah armada.
Sayangnya, upaya tersebut justru menggerus pendapatan Garuda pada 2013. Terlihat dari laba bersih yang anjlok 90 persen atau dari USD110 juta menjadi USD11 juta.
Guna memperbaiki kinerja maskapai pelat merah ini, pemerintah melalui Kementerian BUMN dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) memutuskan Pahala N Mansury sebagai direktur utama Garuda Indonesia. Pahala yang sebelumnya menjabat Direktur Keuangan Bank Mandiri ini dipilih karena dinilai bisa mengelola keuangan Garuda.
Namun hingga kini laporan keuangan Garuda masih belum menunjukkan perbaikan. Sepanjang 2017, Garuda menderita kerugian bersih (net loss) sebesar USD213,4 juta atau turun 2.378 persen dibandingkan laba 2016 sebesar USD9,36 juta (setara Rp126,36 miliar).
Kerugian disebabkan oleh biaya khusus dari pembayaran amnesti pajak sebesar USD137 juta juga denda atas kasus persaingan bisnis kargo dengan Australia sebesar USD7,5 juta pada kuartal kedua 2017. Kendati merugi, capaian pendapatan operasional perusahaan mencapai USD4,2 miliar atau meningkat 8,1 persen dibandingkan 2016 yang sebesar USD3,9 miliar.
Meski demikian, Pahala tetap optimistis kinerja operasional dan keuangan Garuda Indonesia tetap tumbuh positif dengan keuntungan sebesar USD8,7 juta hingga akhir 2018.
Pada kinerja kuartal I-2018, Garuda juga masih membukukan kerugian sebesar USD64,3 juta atau setara Rp868 miliar jika dihitung menggunakan kurs Rp13.500 per USD. Tapi angka tersebut dapat ditekan sebesar 36,5 persen dari kerugian periode sebelumnya yang sebesar USD101,2 juta.
Menurutnya, kinerja perseroan pada kuartal I-2018 turut dipengaruhi oleh kondisi musim liburan serta kinerja rute internasional pada Januari-Februari yang masih mengalami tekanan akibat dampak travel warning erupsi Gunung Agung. Kinerja rute internasional khususnya sektor penerbangan menuju Bali dari Jepang, Korea, dan Tiongkok juga masih belum pulih hingga akhir Februari 2018.
Pahala mengklaim Garuda tetap berhasil membukukan pendapatan perusahaan sebesar USD983 juta atau tumbuh sebesar 7,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu USD910,7 juta. Pertumbuhan pendapatan tersebut, kata Pahala, ditopang oleh efisiensi perusahaan, peningkatan jumlah penumpang, peningkatan angkutan kargo, peningkatan utilisasi pesawat, serta peningkatan kinerja anak perusahaan.
"Perseroan berhasil menekan potensi kerugian sebesar 36,5 persen pada Q1/2018 menjadi USD64,3 juta dibandingkan kerugian pada Q1-2017 sebesar USD101,2 juta," ucapnya pada 3 Mei 2018.
Saat ini, Garuda melayani lebih dari 80 destinasi dengan 600 penerbangan per hari. Semua itu dilayani dengan jumlah armada sampai akhir 2016 sebanyak 197 pesawat. Garuda telah menjadi anggota SkyTeam, sehingga memiliki jaringan global dengan lebih dari 17.300 penerbangan setiap harinya ke 1.062 destinasi di 177 negara.
(AHL)
Comments
Post a Comment