Sketsa Hamid Roesdi (Ist)
- Peran kaum hawa dalam revolusi kemerdekaan Indonesia sangatlah banyak walau sejarah kerap tidak mencatatnya dalam berbagai buku pelajatan sekolah dengan berbagai pertimbangan yang melatarbelakanginya.
Dari peran pejuang perempuan yang mengangkat senjata melawan penjajah di medan pertempuran sampai pada berbagai perjuangan di luar pertempuran bersenjata. Seperti yang terjadi dalam perang gerilya yang dipimpin oleh Mayor TNI Hamid Roesdi, pahlawan nasional kelahiran Pagak, Kabupaten Malang, Jawa Timur (1911-1949).
Tahun 1948, pasukan Belanda berhasil menduduki beberapa daerah di Malang. Kondisi tersebut membuat Hamiid Roesdi harus bergerilya dari satu lokasi ke lokasi lainnya untuk menyusun kekuatan serta melancarkan serangan kepada Belanda. Dalam berbagai perpindahan inilah, Hamid Roesdi mengandalkan srategi "surat pantat" dalam upaya lolos dari incaran pasukan Belanda yang terus memburunya.
Sempal Wadak di Bululawang sampai Turen pernah menjadi area gerilya Hamid Roesdi yang kerap lolos dari sergapan Belanda dengan strategi "surat pantat" tersebut.
Surat pantat, dari berbagai literatur yang ada, merupakan strategi ampuh saat itu. Strategi ini dipilih dikarenakan isi surat yang sangat penting atau rahasia dan tidak boleh jatuh ke tangan Belanda atau anteknya saat pemeriksaan. Surat dimasukkan ke dalam (maaf) pantat perempuan yang menyamar menjadi pedagang. Karena itu, strategi ini disebut surat pantat.
Dengan mempergunakan perempuan sebagai pengirim pesan rahasia yang sangat penting, yang waktu itu lebih bisa bebas berkomunikasi dengan para gerilyawan, serta tentara Belanda yang kerap tidak detail saat melakukan pemeriksaan membuat Hamid Roesdi kerap lolos dari intaian maut.
Di zaman revolusi kemerdekaan, peran perempuan sebagai pengantar pesan atau menjadi mata-mata banyak sekali dijumpai. Mereka ikhlas melakukan berbagai tindakan untuk ikut serta dalam melepaskan kuku penjajah Belanda yang kembali lagi akan menguasai Indonesia setelah menyatakan kemerdekaannya tahun 1945.
Strategi surat pantat adalah salah satu bakti para perempuan yang tak tercatat dalam tinta sejarah di buku-buku pelajaran. Hamid Roesdi pun sebenarnya berat hati untuk mempergunakan strategi tersebut dikarenakan harus memanfaatkan perempuan. Tapi, kondisi dan situasi yang sangat membahayakan perjuangan mempertahankan kemerdekaanlah yang membuatnya tetap menjalankan strategi tersebut.
Itu pun hanya untuk pesan-pesan rahasia dan sangat penting. Kalau pesan perintah, Hamid Roesdi mempergunakan strategi estafet. Dari satu tangan ke tangan lainnya sampai surat tersebut sampai di tujuan.
Banyak hal yang harus ditanggung Hamid Roesdi untuk kemerdekaan Indonesia. Selain strategi surat pantat, kehidupan pernikahannya dengan perempuan blasteran Belanda berkebangsaan Jerman dan Lamongan bernama Geetrada Josephine Schwarz pun tercatat tidak merasakan kebahagian sebagai pasangan suami-istri normal lainnya.
Banyak hambatan dengan pilihan hati Hamid Roesdi saat menikahi anak pasangan Victor Schwarz dan Marinten ini yang berasal dari masyarakat maupun KNIL Belanda. Wajah Indo Geetrada yang setelah menikah berubah nama menjadi Siti Fatimah tetap membuatnya mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari masyarakat. KNIL pun kerap memburunya karena Siti adalah istri Hamid Roesdi.
Hanya tiga tahun (1946-1949) usia pernikahan mereka bertahan karena terus diincar Belanda. Tahun 1949 Hamid Roesdi -yang juga pencetus bahasa walikan sebagai salah satu strategi berkomunikasi dengan banyaknya intel Belanda- tewas bersama keempat temannya. Mereka ditembak oleh pasukan Belanda di pinggir sungai di Wonokoyo, Kedungkandang.
Sebelum kematiannya, Hamid Roesdi -yang namanya diabadikan sebagai nama terminal di Kota Malang serta salah satu nama jalan di kawasan Bunul- berpesan kepada sang istri agar bisa hidup mandiri dan dapat menjaga diri, terutama soal keselamatannya. Selain itu, Hamid berpesan kepada istrinya yang telah memeluk Islam itu untuk rajin salat dan beribadah. (*)
Comments
Post a Comment