KOMITMEN BERSAMA – Walikota Pekalongan, HM Saelany Machfudz didampingi Sekda Kota Pekalongan, Sri Ruminingsih, berfoto bersama komunitas dan peserta lokakarya sebagai bentuk komitmen bersama menangani dampak perubahan iklim di Kota Pekalongan.M. AINUL ATHO
KOTA PEKALONGAN – Kota Pekalongan mendapatkan nilai 5,37, dengan skala 1-10, dalam hal tata kelola pemerintahan berbasis ketahanan perubahan iklim. Meski menjadi salah satu wilayah yang terdampak perubahan iklim cukup parah, namun tata kelola pemerintahan Kota Pekalongan belum menunjukkan perhatian besar dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Penilaian tersebut diberikan oleh Kemitraan Partnership, yang melakukan penelitian di tiga kabupaten dan satu kota. Dari 85 indikator yang dinilai, Kota Pekalongan mendapatkan skor yang sama dengan Kabupaten Kebumen. Dua kabupaten lain, Pulang Pisau hanya mendapat skor 3,93 dan Donggala mendapatkan 3,78.
Data tersebut terungkap dalam lokakarya penyampaian hasil asesmen tata kelola pemerintahan berbasis ketahanan perubahan iklim di Kota Pekalongan, kemarin. Walikota Pekalongan, HM Saelany Machfudz dalam sambutan pembukaan mengatakan, terbatasnya kewenangan Pemerintah Kota menjadi salah satu penyebab penanganan perubahan iklim tidak maksimal. “Sungai menjadi wewenang provinsi, jalan juga ada yang milik provinsi,” kata Walikota.
Kondisi itu, menurut Walikota, berdampak pada pemeliharaannya yang tidak jelas. Karena letaknya di kota, namun kewenangannya di provinsi. Walikota mengaku sudah pernah menyampaikan persoalan ini langsung ke Presiden dalam pertemuan seluruh kepala daerah di Jakarta beberapa waktu lalu.
“Saya minta ke Pak Presiden, silahkan aset diaku oleh siapa saja, tapi mohon kami dikasih anggaran untuk memelihara,” jelas Walikota. Walikota berharap, lokakarya hasil penelitian dari kemitraan dapat menunjukan dimana pembenahan yang harus dilakukan, sehingga dapat menjadi acuan agar Kota Pekalongan memiliki persiapan dalam menghadapi perubahan iklim yang cenderung ekstrim.
Senada dengan Walikota, Peneliti Utama Kemitraan Partnership, Lenny Hidayat, juga menyebut pembagian kewenangan berdasarkan UU Pemerintah Daerah kerap menghambat program penanggulangan perubahan iklim di daerah.
“Kehutanan, wilayah pesisir, sungai dan sektor lain yang terdampak justru bukan menjadi wewenang daerah terdampak (Kabupaten/Kota), melainkan wewenang provinsi. Ini menyulitkan wilayah untuk melakukan mitigasi (penanganan) perubahan iklim,” ungkap Lenny.
Namun demikian, menurut Lenny, Kota dan Kabupaten dapat berperan dalam perubahan iklim di sektor adaptasi. Dengan meningkatkan ketahanan masyarakat, melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pemberdayaan perempuan, dampak terhadap perubahan iklim seperti banjir rob dapat dikurangi. Pada sisi lain, Lenny juga menyebut kolaborasi semua pihak menjadi kunci sukses penanganan perubahan iklim.
Sekda Kota Pekalongan, Sri Ruminingsih, juga sependapat dengan pentingnya kolaborasi dalam penanganan persoalan persoalan sosial dan bencana rob. “Sudah ada bantuan dari kota, provinsi dan pusat kepada warga terdampak rob namun dengan segala keterbatasannya. Oleh karenanya dibutuhkan swadaya dari masyarakat dan seluruh pihak untuk bersama-sama membantu,” harapnya.
Dia juga menyebut pemerintah kota telah melakukan kebijakan untuk penanganan dampak perubahan iklim dan lingkungan, kendati tidak didukung anggaran khusus. “Bersama komunitas, pemerintah kota telah menormalisasi sungai, membuang eceng gondok dan sampah di sungai yang selama ini menghambat dan membuat aliran sungai tidak optimal menggunakan dana padat karya,” jelasnya.
Sekda berharap, seluruh elemen masyarakat bersama-sama mulai dapat melakukan perubahan kecil untuk menjaga lingkungan. Dia juga berharap kepada seluruh komunitas untuk menyuarakan dampak banjir rob yang dialami kota Pekalongan melalui sosial media. Harapannya, banyak yang akan tergerak memikirkan dan mencari alternatif solusi bersama, serta dapat menjadi pembelajaran daerah lain yang berpotensi mengalami persoalan serupa. (nul)
Comments
Post a Comment