HAI-Online.com – Pengalaman berlari di Jakarta, Bogor, Bandung, Magelang sampai dengan Bali dan Cina Selatan pernah saya lalui (baca: larikan). Namun sebetulnya saya nggak benar-benar berlari sehingga sulit sekali bagi saya untuk memperbaiki personal best, terutama dalam banyak ajang lari yang digelar di daerah yang saya sebutkan tadi.
Sementara semakin tahun, olahraga lari terus menjadi gaya hidup bagi masyarakat Indonesia. Saya melihat, penggemar lari terus bertumbuh. Nggak cuma perorangan, komunitas lari juga terus bermunculan.
Tak heran, semakin hari banyak pelari yang ikut mendaftarkan dirinya dalam ajang-ajang lari yang digelar sepanjang tahun bahkan sampai dengan tahun berikutnya 2019 ini. Beberapa memang sekadar cari pengalaman, namun bagi pelari yang sering muncul di garis awal (start line), keadaan mereka sudah semakin siap dan kebanyakan ingin duluan berlari sampai ke finish line.
Yah, kemungkinan besar mereka ingin meraih personal best-nya, sementara saya, lagi-lagi masih belum ketat menargetkan angka kecepatan berlari di setiap ajangnya. Apa salah saya?
Tak perlu dicari-cari betul kesalahannya apa! Karena setiap orang punya niat dan tujuan berbeda dalam mengikuti setiap perlombaanya. Selain kebanyakan mencari kesehatan dengan alih-alih menargetkan keluarnya sejumlah air keringat, sebagian lagi cuma ingin sampai ke garis finish dengan selamat dan pulang membawa medali finisher sebagai kenang-kenangan.
Awalnya saya pun seperti kebanyakan orang, berlari lalu berjalan cepat, berlari lagi terus begitu sampai ke garis akhir perlombaan.
Saya memulainya dengan ikutan lomba lari di jarak dekat seperti 5K, lanjut 8K (tahun 2014 masih ada ajang lari seru-seruan sejauh itu.red), lanjut 10K, baru mencoba 21K (half marathon), 30K (trail run) sampai dengan full marathon 42,195 K.
Dengan sudah mencoba full marathon, meskipun kecepatannya masih mendekati cut off time, rasanya hati ini senang dan lega bisa menaklukan jaraknya. Sampai saya mendengar pernyataan Samuel Elia Huwae, peraih medali perak dan perunggu di Sea Games 1991, dia pelari senior dan kerap menang dalam banyak lomba lari bergengsi di tahun kejayaannya.
“Buat apa lari marathon kalau pada kenyataannya kamu berjalan di setengah perjalanannya. Lebih baik ikutan 5K atau 10K tapi kamu benar-benar berlari sampai finish,” ucapnya menohok hati saya, mungkin juga pelari lainnya.
PROMOTED CONTENTDari sana, saya jadi berpikir mungkin kecepatan berlari saya average atau di bawah itu, sehingga kemungkinan besar pada saat mengikuti ajang lari, banyak pelari lain yang terhalang-halangi oleh gaya berlari saya yang selow. Andai waktu saya bisa mengimbangi pace lari mereka, mungkin saya nggak sering tertinggal di belakang. Saya jadi niat untuk mencetak personal best!
Menjadi Pelari Musiman
Pelari Musiman
Nah, sebagai enthusiast runner_ bisa dibilang begitu karena berlari bukan menjadi satu profesi tetap seperti yang dilakoni para atlet elite misalnya. Berlari di banyak musim lari yang digelar merupakan target tersendiri bagi pelari musiman (seasonal runner) seperti saya. Kini targetnya, tentu nggak Cuma eksis ikutan tapi juga mencetak waktu berlari terbaik yaitu personal best.
Saya pun mulai bertemu dengan teman-teman Nike Running Club atau NRC (2016-2017), bergabung dengan komunitas lari seperti We Run Jakarta dan KG Pelarian, serta mengikuti program pelatihan dari coach professional ditemani beberapa pacers panutan untuk terus meningkatkan perfoma berlari saya.
Oh ya, satu tahun belakangan ini saya nggak sering-sering mendaftrakan diri dalam ajang lomba lari jarak jauh sebelum memperbaiki catatan waktu terbaik saya di jarak 10K.
“Kalo catatan 5K atau 10K sudah baik selama tiga kali berturut-turut, kalian bisa ikut kategori lomba selanjutnya,” ujar doktor olahraga, dr. Hario Tilarso saat memberikan tips konsisten berlarinya.
Dalam tiga bulan terakhir, saya pun tertantang ikut program Nike mencetak personal best menggunakan Nike Pegasus 35. Sepatu terbaru Nike seri ini merupakan pembaharuan yang ke-35 sejak tahun 1983 pertama kalinya Nike Pegasus dirilis.
Untuk penggemar olahraga lari, proses memilih alat penopang kaki yang nyaman dan tepat, yaitu sepatu lari tadi nggak boleh dilupakan. Selain bakal mengikuti rentetan program latihan mulai dari pemanasan, gerakan berlari, mengatur kecepatan, interval sampai dengan melakukan pendinginan, penggunaan sepatu juga memengaruhi hasil latihan.
Untuk itu, secara rutin selama program latihan, type Nike Air Zoom Pegasus 35 menjadi teman berlari saya.
Awalnya saya sempat kaget, kali ini saya bakal sering latihan menggunakan sepatu yang ukurannya terlihat lebih besar dari yang biasa dipakai. Namun kesan pertama itu luntur pas kedua kaki saya sudah tenggelam di dalamnya, justru terasa fit dan nyaman. Apalagi bobotnya juga ringan, padahal saya lihat solnya cukup tebal, meskipun pada saat dipijakkan, saya terkesima dengan respon solnya yang terasa empuk namun kekar. Saya mulai nyaman, kedua kaki saya bisa bernafas lega.
Jadiin Sepatu Favorit
Pegasus 35
Uniknya pada saat pemakaian, kita bisa memberikan nama ‘kesayangan’ pada sepatu yang digunakan selama latihan. Untuk sepatu Nike Air Zoom Pegasus 35 yang dikoneksikan ke NRC app, saya menamainya Pegabro, biar apa? Biar bisa menjadi teman berlari untuk mencapai tujuan personal best.
Yes, latihan pertama digawangi coach Agung Gantar di Gelora Bung Karno (GBK). Nggak banyak basa-basi, latihan dimulai dengan Dynamic Stretching, sebuah pemanasan yang efektif menggabungkan dua gerakan static dalam pemanasan sehingga tubuh benar-benar terasa aktif.
Selanjutnya berlari selama 40 menit mengelilingi area GBK untuk mengukur kecepatan pace masing-masing. Posisi saya memang berada di area kecepatan rata-rata.
Menurut coach Agung, jika targetnya berlari 10K di bawah 1 jam, kecepatan saya belum cukup untuk mencapai kurang dari 60 menit tersebut.
Tentu saya percaya, jika melihat catatan terbaik saya dalam mengikuti ajang 10K masih di waktu 1 jam 08 menit. Saya pun mengakui, tidak sepenuhnya saya berlari dari awal sampai garis akhir. Lebih sering saya berjalan cepat daripada larinya. Untuk itu, target di bawah satu jam harus tercapai nantinya!
Latihan terus dilakukan selama 2 sampai 3 kali dalam seminggu, terkadang coach memberi saran untuk mengganti latihan berlari dengan renang atau bersepeda sebagai selingan. Jika perlu, melakukan fitness untuk menguatkan bagian perut saat berlari.
Target Baru
Beberapa kali, teknik berlari saya dievaluasi, nggak cuma pada saat pemanasan yang dianggapnya kurang sempurna, terutama dalam melakukan running ABCD di gerakan kijang melompat (maksudnya lari seperti menghindari rintangan di depan.red), ayunan lengan, serta posisi punggung yang keliru.
“Ayunan tangannya lurus 90 derajat sampai ke bawah dagu, punggung jangan membungkuk,” tegasnya pada saat latihan kedua.
Selanjutnya, melatih ketahanan berlari sesuai pace masing-masing terus dilakukan secara rutin. Jika sebelumnya berlari 40 menit menghasilkan 6 putaran GBK, latihan selanjutnya 7 putaran.
Untuk berikutnya, latihan interval dengan pola lari cepat 1-2 menit atau sesuai pace yang ditargetnya misal lari 400 meter setiap 1 menit 08 detik, diupayakan konsisten selama 8 kali putaran diikuti istirahat berjalan setiap intervalnya.
“Targetnya kan 55 menit untuk 10K, jadi usahakan untuk lari di kecepatan itu (1 menit 8 detik) untuk setiap 400 meternya, kalo bertahan terus, memori tubuh bakal merekam bahwa sebenarnya target itu sanggup dicapai,” ulasnya lagi di sesi latihan ketiga.
Semakin sering menjalankan program latihan diimbangi dengan asupan makanan bergizi serta istirahat yang cukup, pada saat race nanti kondisi berlari sudah akan lebih baik.
“Istirahat jelang race itu penting,” katanya selalu mengingatkan untuk nggak begadang jelang perlombaan.
Dengan mengikuti beberapa saran dari pelatih dan menjalankan program latihan dengan benar dan jujur, maka hasil lomba nggak bakal mengkhianati usaha kita.
Saya pun akhirnya bisa mencapai hasil di bawah satu jam dalam dua lomba 10K, pertama 57.03 menit, selanjutnya 54.55 menit dan bisa personal best juga untuk HM di Borobudur marathon di 2.30 menit.
Yang harus diketahui, selama 3 bulan latihan memperbaiki catatan waktu, saya berlari dengan Pegasus 35, namun pada saat di race saya menggunakan sepatu terbaru di akhir semester tahun 2018, yaitu Nike Zoom Fly Flyknit.
Nike Zoom Fly Flyknit
Sepatu ini membuat saya tidak mengalami cidera apapun. Berlari dengan Nike Pegasus 35 dan Nike Zoom Fly Flyknit mengurangi saya untuk berhenti di jalan, dia seakan mendorong langkah kaki untuk terus melakukannya lagi dan lagi, bahkan yang terpenting juga bagi saya adalah terhindar dari gesekan yang menyebabkan lentingan atau blister di jari –jari kaki saya.
Tahun depan, saya akan membuat target baru lagi, mencerak personal best saya dengan sepatu kesayangan. Saya yakin, kamu juga bisa, lakukan saja! (*)
Comments
Post a Comment