JAMBIUPDATE.CO, - Pemkab Berau, Kaltim, selama ini sudah tegas terhadap aktivitas perburuan penyu hingga penjualan aksesori berbahan karapas penyu. Nyatanya, sepanjang tahun 2018, masih banyak temuan perdagangan aksesori berbahan karapas penyu.
Baik yang dijajakan langsung di objek-objek wisata maupun secara kucing-kucingan dijual di kawasan perkotaan.
ERETMOCHELYS IMBRICATA atau penyu sisik adalah salah satu jenis penyu yang masuk daftar merah karena sudah terancam punah. Pemerintah juga telah berusaha melindunginya. Sejak puluhan tahun silam, telah menerbitkan aturan untuk melindungi satwa yang menjadi buruan mulai dari telurnya, melalui Undang-Undang Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Di Kabupaten Berau, berbagai upaya juga telah dilakukan pemerintah untuk menjaga kelestarian satwa yang punya siklus bertelur antara 2 hingga 8 tahun sekali tersebut.
Mulai dengan menggencarkan penyuluhan ke masyarakat, hingga memberikan ancaman pidana bagi siapa saja yang memburu hingga menjual telur maupun aksesori berbahan karapas penyu.
Sayang, ketegasan pemerintah belum bisa membuat jera para pelakunya. Mulai dari nelayan yang melakukan perburuan penyu di lautan, hingga para pedagang yang kini menjajakannya secara kucing-kucingan.
Di Kecamatan Pulau Derawan maupun di Pasar Sanggam Adji Dilayas, jadi lokasi yang paling sering ditemukan aktivitas perdagangan aksesori berbahan karapas penyu.
Sedikitnya, terdapat delapan kali temuan perdagangan aksesori berbahan karapas penyu yang dicatat ProFauna Berau sepanjang 2018.
Gencarnya perburuan penyu itulah, diyakini sebagai salah satu penyebab mulai sulitnya wisatawan menemukan penyu yang naik ke pantai di malam hari. Terutama di wilayah Kepulauan Derawan. Yang jadi salah satu tempat favorit penyu bertelur di era 90-an.
Berau Post (Jawa Pos Group) yang coba memastikannya, juga harus pulang dengan tangan hampa. Ekspektasi tinggi untuk melihat langsung penyu bertelur di pulau seluas 44,6 hektare tersebut pada Rabu (19/12) lalu pupus karena ‘patroli’ di sepanjang garis pantai tak mampu menemukan jejak penyu yang naik ke daratan.
Rasa lelah ketika menempuh perjalanan darat sepanjang 106 kilometer, dengan waktu tempuh selama 3 jam pun, tak bisa terbayarkan.
Dari informasi yang dihimpun, perburuan penyu memang sudah terjadi sejak puluhan tahun silam. Bukan cuma telurnya saja, tapi karapas yang punya nilai ekonomis tinggi juga menjadi incaran oknum nelayan di Bumi Batiwakkal – sebutan Kabupaten Berau.
Karapas yang menjadi bahan utama pembuatan berbagai aksesori, seperti cincin dan gelang, memang punya pasar yang menggiurkan. Terutama untuk dijadikan buah tangan bagi wisatawan setelah berkunjung ke Bumi Batiwakkal.
Tak berhasil menemukan penyu bertelur, tim Berau Post coba menelusuri alur perburuan karapas penyu oleh oknum nelayan, hingga cara mengolah karapas menjadi berbagai bentuk aksesori.
Memang bukan perkara mudah. Walau awalnya tim tidak menunjukkan identitas dan berpura menjadi seorang wisatawan. Tetap saja beberapa nelayan dan pedagang aksesori di Pulau Derawan, kompak memilih bungkam.
Berbagai cara pun digunakan untuk mendapatkan informasi tersebut. Cara menjadi wisatawan yang ingin membeli oleh-oleh aksesori berbahan karapas penyu, beberapa kali gagal. Para pedagang di Pulau Derawan terlihat sangat hati-hati dalam melayani wisatawan yang ingin membeli aksesori berbahan karapas penyu.
Satu, dua, hingga empat pemilik toko di Pulau Derawan mengaku tidak lagi menjualnya. Alasannya juga beragam. Ada yang karena takut berurusan dengan aparat, ada juga yang mengaku memilih beristirahat sebentar, karena baru beberapa pekan mendapat peringatan ketika Wakil Bupati Agus Tantomo melakukan sidak ke Pulau Derawan.
“Sekarang (Kamis, 20/12) masih banyak yang takut menjual. Mungkin minggu-minggu depan sudah mulai jualan lagi,” kata salah seorang pedagang aksesori di Pulau Derawan.
Terus gagal, tidak membuat tim menyerah. Toko-toko selanjutnya dikunjungi untuk menanyakan penjualan aksesori berbahan karapas penyu. Namun tetap saja gagal, karena tidak satupun yang bersedia memberikan informasi yang dibutuhkan.
Sampai akhirnya tim berhasil menemukan orang yang mengetahui informasi perburuan penyu untuk diambil karapasnya. Justru ketika tim kembali ke penginapan dan berbincang dengan salah seorang pekerja di penginapan, yang ternyata seorang mantan pemburu penyu di perairan Kepulauan Derawan.
Boy (nama samaran pekerja tersebut), mengakui perburuan penyu masih marak di Kepulauan Derawan. Bahkan dirinya mengaku punya banyak kenalan nelayan nakal, yang masih aktif melakukan perburuan penyu hanya untuk diambil karapasnya.
Menurutnya, karapas penyu memang menjadi salah satu buruan dengan nilai ekonomis tinggi yang banyak diburu masyarakat Pulau Derawan.
Cara mendapatkan penyu diakui cukup mudah, karena sudah mengetahui titik-titik pada perairan yang menjadi tempat favorit penyu mencari makan. Terbanyak lanjut dia, di sekitar Pulau Panjang, yang masih masuk gugusan Kepulauan Derawan.
Dari pengalamannya, dirinya bisa mendapat hingga Rp 3 juta lebih dari hasil penjualan karapas penyu. “Karena per kilogramnya bisa dihargai Rp 1,5 juta,” ujar Boy.
Terkadang, lanjut pria yang usainya berkisar 36 tahun tersebut, dirinya sering merasa iba ketika mengeksekusi penyu yang didapatkannya. Karena cara yang digunakan untuk memisahkan karapas dengan tubuh penyu cukup sadis.
Setiap penyu yang didapat, kebanyakan langsung dieksekusi di atas kapal. Penyu yang telah dinaikkan, langsung dibalik sehingga tak bisa berjalan. Selanjutnya, penyu yang sudah tak berdaya tersebut disiram air mendidih yang dimasak di atas kapal, serta dimasukkan ke dalam sela-sela antara karapas dan tubuh penyu.
Fungsinya, agar tubuh penyu melepuh sehingga memudahkan nelayan untuk memisahkan karapasnya.
Cara dengan membakar juga kerap digunakan nelayan. Dengan memanaskan karapas penyu menggunakan api obor. Ketika karapas memanas dan tubuh penyu telah melepuh, saat itu juga dirinya atau nelayan nakal lainnya memasukkan tongkat kecil di sela-sela tersebut, untuk membantu proses pemisahan karapas dengan tubuh penyu.
Sadisnya lagi, penyu yang masih hidup tanpa karapas, langsung dibuang ke laut. Hal itu bisa membuat penyu mati perlahan.
“Saat dibedah (pemisahan karapas dengan tubuh, red), air mata penyunya pasti keluar sendiri. Saking panasnya mungkin, saat dilepas ke laut penyu itu ada yang berenang cepat, ada juga yang cuma terputar-putar. Mungkin karena kesakitan,” terangnya.
Rasa kasihan melihat penyu menangis hingga mati perlahan tanpa karapas di lautan, selalu dikalahkan dengan iming-iming rupiah yang akan didapatkannya.
“Namanya juga kerja di laut, apa aja yang bisa jadi uang kami kerjakan. Ini tuntutan perut soalnya,” sambungnya.
Mengapa tak lagi berburu penyu? Ditanya demikian, pria yang baru sekitar satu setengah tahun terakhir ini tak lagi melaut, mengaku karena takut berurusan dengan hukum.
enjualan aksesori penyu di sini (Kabupaten Berau), saya juga mulai takut-takut. Makanya sekarang enggak melaut lagi,” ungkap Boy.
Dari perbincangan tersebut, tim juga mendapat informasi para pedagang yang disebut Boy masih menerima pembelian karapas penyu dari nelayan.
Satu nama yang terucap dari mulutnya, sebut saja Emil, menjadi petunjuk bagi tim untuk menggali informasi lain seputar proses pembuatan aksesori hingga pasar penjualannya yang menjanjikan.
Saat ditemui di kediamannya, Emil sempat menaruh curiga. Bahkan sempat menduga tim Berau Post adalah intel dari jajaran Polres atau Kodim Berau. Namun setelah diyakinkan bahwa tim bukanlah aparat, Emil perlahan mulai terbuka.
Diakuinya, ketika tim menemuinya, dirinya dan beberapa pedagang lain memang memilih tak lagi menjual aksesori berbahan karapas penyu. Tapi hanya untuk sementara waktu. Saat musim libur panjang, atau saat wisatawan yang berkunjung ke Pulau Derawan cukup banyak, maka dirinya dan pedagang lainnya kembali menjual aksesori berbahan karapas penyu.
Bermodal antara Rp 1 juta hingga Rp 3 juta untuk satu karapas penyu, Emil dan pedagang lainnya bisa meraup pendapatan cukup mengiurkan. Memang keuntungannya yang didapat tidak banyak, namun aksesori yang dihasilkan selalu menjadi buruan utama wisatawan.
“Memang sudah dilarang, tapi tetap saya bikin, karena tamu (wisatawan, red) memang banyak yang cari itu,” sebutnya.
Umumnya disebutkannya, setiap satu karapas terdiri dari 13 ruas. Setiap ruas, dapat menghasilkan hingga 15 buah aksesori. Setiap satuannya, dijual mulai dari Rp 15 ribu untuk cincin sampai dengan Rp 30 ribu dalam bentuk gelang.
Sehingga jika dihitung rata-rata satu karapas bisa menghasilkan 195 aksesori, dan dijual dengan harga rata-rata Rp 20 ribu, Emil sudah bisa mengantongi uang sebesar Rp 3,9 juta.
“Tapi jualnya cepat, karena kalau musim liburan, banyak wisatawan, banyak yang borong untuk oleh-oleh. Seperti pas libur lebaran, biasanya saya stok barang sampai Rp 20 jutaan, itu pasti habis,” ungkapnya.
Sebenarnya dijelaskan Emil, pengolahan kerapas penyu sampai menjadi aksesori membutuhkan usaha yang tidak mudah. Untuk membuatnya, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan. Dimulai dengan memotong kerapas yang keras menggunakan gergaji menjadi beberapa potongan kecil.
Menggerinda untuk memunculkan corak yang ada di dalam kerapas, hingga menghaluskannya menggunakan amplas.
“Memang proses pembuatannya susah dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Tapi pasarnya sangat menjanjikan,” ujarnya.
Dengan pasar yang sangat menggiurkan baginya, larangan penjualan aksesori dari pemerintah tidak bisa membuatnya jera. Namun dirinya memilih berhati-hati dalam memasarkannya.
“Seperti sekarang, kami belum menjual lagi karena pemerintah masih sering merazia. Ya seperti kucing-kucingan lah,” pungkasnya. (tim)
Comments
Post a Comment