Judul : Hutan Rakyat di Simpang Jalan
Editor : Ahmad Maryudi
Penerbit : Gadjah Mada University Press
Cetakan : Oktober 2018
Tebal : xiv + 306 halaman
ISBN : 978-602-386-258-0
Hutan negeri ini banyak digundul dan dialihfungsikan menjadi kebun sawit. Hutan juga banyak mengalami kebakaran akut, sehingga semakin melenyapkan sisa kayu yang sebenarnya tinggal sedikit. Sebenarnya banyak negara yang sekarang mengembangkan hutan rakyat (HR) sebagai alternatif. Beragam praktik pengelolaan HR merupakan gambaran pilihan produksi yang cukup fleksibel untuk mengoptimalkan lahan rakyat.
Pengelolahan HR telah lama dipraktikkan sebagai bagian dari penggunaan lahan tradisional masyarakat dan sudah mendapat perhatian empat dekade terakhir. HR sering dihubungkan dengan upaya merespons degradasi hutan alam dan kemiskinan kronis masyarakat. Berbagai negara juga mulai meluncurkan program kehutanan sosial melibatkan masyarakat perdesaan dalam menanam pohon (hlm v).
HR telah menjadi tulang punggung kehutanan banyak negara. Misalnya, di negara-negara Nordik, 60–70 persen luas hutan dimiliki petani kecil. Di Australia, penanaman pepohonan di pekarangan menyumbang 25 persen luasan hutan. Sebanyak 50 persen dari luas hutan Jepang juga dimiliki petani kecil. Lebih dari 20 persen penduduk Slovenia mempunyai HR yang mencapai hampir 60 persen dari luas hutan negara tersebut (hlm 3).
HR Indonesia juga berkembang cukup pesat. Masyarakat perdesaan banyak daerah sangat bergairah menanam pepohonan di pekarangan dan area pertanian. HR di banyak daerah juga mendorong perubahan lanskap perdesaan. Banyak lahan pertanian produktif saat ini mulai diubah menjadi tanaman keras tahunan. Ada ekspansi keluasan. Di Jawa, misalnya, tahun 2008 diperkirakan hampir tiga juta hektare lahan rakyat ditanami pohon-pohon.
Peran penting HR mencakup penyediaan jasa ekosistem, mengurangi tekanan terhadap hutan alam, meningkatkan kualitas tanah dengan mengurangi erosi, dan mendukung penghidupan petani terutama di masa krisis penghasilan. Praktik pengelolaan hutan rakyat memang mempunyai potensi untuk menghasilkan beragam kemanfaatan baik dari sudut pandang ekonomi, sosial, dan lingkungan. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan serangkaian faktor pendukung seperti kerangka kebijakan formal dan informal (hlm 65).
Kebijakan harus melibatkan aktor kepentingan. Aktor menempatkan kepentingan mereka dan berupaya untuk memperoleh manfaat dengan cara-cara tertentu. Pemerintah bukan satu-satunya aktor dalam proses kebijakan kehutanan. Terdapat aktor lain yang berada di luar pemerintahan dalam kegiatan pengembangan kebijakan kehutanan. Misal, kelompok kepentingan partai politik, media massa, warga negara, dan perusahaan pedagang kayu dan usaha terkait. Dalam konteks penguasaan hutan dan tata niaga kayu rakyat, pasar global pun seharusnya dipandang sebagai sebuah aktor kepentingan.
Dalam sistem perundang-undangan Indonesia, semua kekayaan alam termasuk tanah sumber daya alam hayati dan air dikuasai oleh Negara. Hal ini ditegaskan dalam undang-undang dasar 1945 khususnya Pasal 33. Pemerintah sebagai representasi negara bertanggung jawab menjamin semua kekayaan alam tersebut dikelola dengan baik dan digunakan sebaik-baiknya untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat (hlm 235).
Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari peneliti, pengambil kebijakan, praktisi, dan pegiat lingkungan. Buku ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran dan masukan bagi petani, praktisi, dan pengambil kebijakan untuk menentukan langkah dalam tata kelola hutan rakyat ke depan.
Comments
Post a Comment